SANG TUNGGU TUBANG
By:
Aini said
Api menyala garang di dapur, asap mengepul hitam. Umak1 terbatuk-batuk terhisap abu kayu bakar yang
melayang-layang oleh angin. Tampah ia kipas-kipaskan kearah tumpukan kayu yang
sudah di siram minyak tanah. Jari-jemariku memetik daun ubi dari tangkainnya sambil
duduk di lantai beralaskan tikar lusuh di
anyam dari daun enau. Setelah api cukup
stabil, umak meletakan periuk sudah
berisi beras dua canting2 yang dia
cuci bersih.
Bak3 sedang sibuk besiang4
di kebun kopi. Katanya rumput sudah
tumbuh liar kembali, jika tidak segerah dibersihkan akan menghambat pertumbuhan
kopi, selain itu bak sekalian
memangkas tunas-tunas yang tumbuh subur
di ruas-ruas pohon kopi, jika tidak di buang pertumbuhan kopi akan kerdil dan buahnya juga tidak akan memuaskan. Sebagai petani
bak adalah seorang laki-laki pekerja
keras, hampr seluruh hidupnya di habiskan di sawah dan di kebun kopi. Beliau
tidak mempunyai pekerjaan lain selain bertani, dia bukan seorang PNS, hanya
laki-laki biasa, namun di mataku ia sungguh laki-laki luar biasa
“ Udem5 kau memetik daun ubi?
Lama betul. Apa yang kau pikirkan?” suara umak
menerbangkan lamunanku… aku membawa bakul berisi penuh daun ubi, kucuci dengan
air selan56 yang di
alirkan dari mata air Tulung yang berada tepat di pinggir sungai Beringin, mata
air Tulung itu tiba-tibah saja muncul dan membetuk lobang cukup besar
kemudian mengalirlah air cernih yang segar, masyarakat desa Tanjung Raya
berbondong-bondong memasang selang dan membangun semacam corong besar terbuat
dari bambu agar masyarakat dimudahkan
untuk mengambil air bersih, diberi nama mata air Tulung konon katanya orang
yang menemukan mata air itu berteriak-teriak ditengah desa sambil minta tolong
akhirnya terkenalah dengan Tulung yang artinya minta pertolongan, sedangkan air
sungai Beringin tidak layak untuk di jadikan air minum sebab air yang mengalir
diantara bebatuan besar itu berwarna coklat lekat bercampur tanah liat , lagian
air Beringin dijadikan tempat mencuci pakaian, tempat anak-anak berenang serta
bermain.
Umak
telah beralih kesibukan. Ia sedang memasukan beberapa canting beras kentan yang lebih dikenal sebagai padi pulut 10oleh masyarakat
kami
“setelah masak nasi
nanti, antar padi pulut ini kerumah ibungan11
kau”
“besok saja mak”tolakku
sehalus mungkin, namun gagal kusembunyikan wajah berlipatku didepan umak
“dia perlunya
sekarang ibungan kau mau masak juadah12” ah, mulai lagi.
Pasti ada saja alasan dibuat oleh umak
agar aku ke desa sebrang. Aku sudah tau
pasti alasannya, agar sering bertemu
Bagus anak sulung Kades Burhan yang terkenal kaya di seluruh kecamatan
Semende. Kurasa dia korupsi, bagaimana mungkin dia bisa sekaya itu hanya
sebagai Kades, semua anaknya di fasilitasi dengan motor, kerbaunya di
mana-mana, rumahnya terbuat dari beton-beton yang di pagari besi, kudengar juga
dia memiliki kontarakan di kota yang dia sewakan. Aku tidak menyukai keluarga
itu, mereka semua angkuh, terlalu bangga dengan kekayaan dipunya.
“umak kan bisa
memasak juadah dari rumah kenapa
harus ibungan yang memasak?umak
antarkan saja sekalian silaturahmi kesana”
“banyak nian celoteh
kau ni. Pokoknya kau antarkan hari ini” ah umak. Semua katanya tidak bisa
dibantah. Lagian sudah berapa lama dia tidak mengunjungi adik kandungnya itu,
bertemu hanya beberapa kali saja dalam beberapa bulan ini. Umaklebih sering
mengutusku ke tempat Ibungan. Aku tau
beliau mengincar Bagus sebagi menantunnya. Bagaimana mungkin…bahkan aku tidak
pernah bicara pada laki-laki itu, kudengar dari para wanita yang hebo menggosipkan Bagus, ia baru selsai
menamatkan pendidikan S1 nya di Universitas Seriwijaya dan ayahnya sedang
mencarikan istri untuk anak sulungnya. Aku hanya sekali bertegur sapa dengan Bagus…waktu
itu aku sedang mengangkat karung kecil cabe yang di beli oleh Ibungan dari Landbow perkebunan
palawijay terletak didaerah barat desa Tenang Bukuk. Menaiki tangga-tangga kayu
ini cukup sulit, apalagi tanganku harus mengangkat 15 Kg cabe
“itu apa?” tiba-tiba
saja dia bertanya sambil mendongakan kepalanya di telari besi. Rumah Ibungan hanya di pisahkan tembok
setinggi pingang dengan rumah kepala desa Burhan
“cabe”jawabku ketus,
aku kembali mengangkat, kukerahkan semua tenaganya. Ups.. namun, Berets!!…tiba-tiba
karung kecil itu sirna dari kedua tanganku, aku geram setengah mati saat karung
cabe itu disambarnya lalu tanpa babi-bu ia mengangkatnya keatas rumah…
“eh Bagus. Terimakasih
ya” ibungan ku menyambut Bagus dengan
muka sumberinga…
“iya sama-sama ibung”lalu ia berlalu tanpa sepatah
katapun padaku…
“cakep nian cek cek cek” ibungan yang sudah punya suami saja bisa sekagum itu pada Bagus.
Namun, tidak denganku, aku tidak tertarik pada Bagus sifatnya teramat dingin. Hanya begitu saja aku bertemu
bagus. Bagaimana mungkin para gadis-gadis di berbagai Desa bercerita dengan
semangatnya jika bertemakan Bagus….
Dan
tiba-tiba saja keluargaku sering sekali di kunjungi oleh istri kades Burhan.
Aku sempat heran ketika umak dan ibu kades itu kelihatan sangat akrab. Awalnya
aku tidak juriga sedikitpun. Tapi setelah mendengar gossip dari beberapa gadis
di desaku bahwa ibu kades itu hendak meminangku untuk sang putra tercintanya.
Mulaii saat itu ibu sering sekali memintaku ke tempat ibungan dengan berbagai
alasan terkadang sehari dua kali. Sesering apapun aku ditempat Ibungan aku jarng sekali keluar…
begitupun dengan bagus, dia telihat tidak pernah terlihat keluar rumah seperti
para bujangan di desa ini
“Za… nah lekas antar padi pulut ni” setelah menyelsaikan
urusan rumah. Aku meminta Yanto adikku untuk mengantarku ke desa sebrang dengan
sepeda bututnya…
“sebentar lagi ayuk
akan menikah ya?” Yanto adik semata wayangku itu tiba-tiba saja melontarkan
pertanya itu, ia membawa sepeda pelan menyusuri jalan-jalan setapak yang
berlobang. Angin alam menerbangkan sisi-sisi jilbabku…
“kata siapa?”
“orang-orang bilang
begitu”
“gossip didengar.
Lagian kau masih SMP sudah jadi pendengar gossip”
“kakak kan Tunggu
Tubang pasti direbutkan para laki-laki”
“sudah ah. Lihat
kedepan. Pelan-pelan saja jalannya”
“Bagaimana bisa
cepat-cepat badan ayuk13
ni berat betul”
“ih kau ni” Yanto
tertawa ringan. Kami melewati sawah-sawah yang baru selsai di calau14. Bahkan si Yanto saja
sudah tau. Aneh-aneh saja orang-orang di Desa ini, mereka asik mengurusi
hal-hal yang bahkan bukan jadi urusan mereka. Walaupun umak memaksa aku untuk menikah dengan Bagus aku harus berfikir
sertus kali.
Yah, gelar Tunggu Tubang
harus kusandang. Anak pertama perempuan adat Semendo diistemewakan mereka akan
mendapatkan harta warisan berupa rumah
dan seisinya, sawah bahkan kebun… sedangkan anak tengah atau bungsu diharuskan
mandiri. Hanya itu keistmewaan dari Tunggu Tubang, setidaknya laki-laki
menikahi mereka tidak harus bersusah payah mencari uang membeli rumah dan
sawah, cukup menikmati dan mengurusnya saja … namun di balik itu mereka
mempunyai tanggung jawab besar mengurus Apik
Jurai 15
Aku baru juga menamatkan SMA,
seolah mimpi menjadi seorang gadis mandiri
dan berpendidikan tinggi menjadi abu. Mengapa harus anak sulung perempuan punya
kewajiban sebesar itu? Dan terlihat tidak adil untuk anak tengah serta bungsu.
***
Aku duduk dibawah
pohon Jambu yang masih berputik, bunga-bunganya berterbangan ketanah sebagian
mengenai rambutku yang tergerai panjang, pandanganku tertuju pada anak-anak
itik berenang di tengah sawah, sungai-sungai kecil di pinggir sawah gemericik,
meramaikan nada alam. Bagus duduk disebrangku duduk di atas batu pinggir
pematang sawah
“ceritakanlah tentang
perasaanmu Ni” katanya sayup, tapi cukup terdengar di telingaku
“aku belum mau menikah”
“tapi, tanggal
pernikahan kita sudah di tetapkan oleh keluarga”
“apa perempuan
sepertiku tidak punya pilihan Gus?”
“pilihan apa yang kau
inginkan?”
“seperti itik,
seperti burung…mereka bebas memilih kemana mereka terbang dan berenang”
“kau bias bebas
setelah menikah dengaku nanti…” ego kelaki-lakianya mulai muncul
“tidak akan pernah
sebebas ketika aku tidak punya ikatan dengan siapapun”
“mengapa?”
“pernikahan adalah
harga mati dari sebuah kometmen, terkurung dalam hubungan, menghambat untuk
melakukan apa yang kita inginkan. Lebih menghargai perasaan orang lain,
memperdulikan orang lain mengabaikan diri sendiri, akhirnya melar dan mati,
meskipun hidup bersama dalam hitungan tahun belum tentu kita cintai” Bagus
terdiam, matanya tak menatapku…aku melangkah mendekatinya
“tanyakan pada
dirimu, apakah kau benar-benar ingin menikahi gadis yang baru berinjak dewasa
sepertiku? Aku hanya gadis desa kutau hanya sawah, sumur dan beronang. Kau akan
teratahan di sini… apakah kau
benar-benar menginginkan apa yang di inginkan keluarga besarmu menikahiku?”
“stop!”
“atau mencintaiku
hanya ragaku? Karena kebanyakan pemuda di sini menginginkan aku? karena parasku?”
“Ni… aku…”
“tanyakan itu…”
“karena kau berbeda…”
jawaban kelese
“aku punya mimpi
besar dalam hidupku Gus…”
“mimpi apa?”
“pergi dari desa ini,
melanjutkan hidupku di kota, kurasa di sana akan banyak pilihan…”
“semoga saja…” Gus
berdiri dan meninggalkan aku sendiri masih dipenuhi lingkaran mimpi dalam
hidupku. Maafkan aku Gus, aku hanya wanita yang berani bermimpi, suaraku
tersengkal di kerongkongan sedangkan tubuh tingginya telah menghilang dari
balik padi-padi masih menghijau.
****
Keningku bengkak,
asbak kayu mendarat sukses di kening. Murka bak telah menghancurkan kekagumanku
padanya, aku merasa saat ini dia sangat kerdil, dan membencinya, aku tidak
boleh keluar kamar. Aku wanita tidak
ingin mengakhiri hidupku dengan pernikahan dini dan tanpa cinta.
Bak tetap ngotot agar
aku menikah…
Usiaku masih terlalu
muda untuk menikah?
Aku seorang Tunggu
Tubang…. Itukah alasanya?
Keterangan
1.
Ibu
2.
Kaleng
3.
Bapak
4.
Merumput
5.
Pipa
6.
Merebus
diatas beras
7.
Tomat
8.
Kamu
9.
Sendok
nasi
10. Ketan
11. Bibik
12. Kue basah bahan dasarnya dari
ketan putih
13. Kakak perempuan
14. Membersihkan sawah pakek kerbau
15. Keluarga besar
16.
0 komentar:
Post a Comment
Silakan tinggalkan Komentar anda